Sabtu, 10 Desember 2011

RUMAH KOTAK KACA

Jangan sediakan aku tempat jika kamu tidak memperkenankan aku berada di tempat itu. Seperti melihat rumah miniatur yang terdapat dalam kotak kaca. Indah dipandangan namun sangat mustahil untuk menyentuhnya apalagi menempatinya. Terima kasih, setidaknya kamu sudah menyenangkan hati ini dengan kata-kata manis meskipun tidak semanis pada kenyataannya.
Inginnya aku gunakan kesempatan yang sebelumnya sering kali kamu berikan. Tapi ketika kesempatan itu aku gunakan, entah kenapa saat melihatmu melihatku mengisi kesempatan itu, mata dan mulutmu seolah tidak pernah memberiku kesempatan tersebut sebelumnya. Aku heran, apa aku yang amnesia atau kamu yang sengaja lupakan ingatan ketika posisi kita berdua sama-sama menjadi tersangka. Setidaknya ada kata maaf itu cukup untuk meralat kelupaingatanmu. Namun, aku lupa lagi, lantas berpikir mungkin aku yang salah. Haa, meminta maaf di saat seperti ini pun aku kira percuma. Benar saja, kata maaf sudah tak berharga, dan jujur  “LOVE U”? sedikit demi sedikit jiwa dalam kata-kata itu perlahan mulai ditarik dari jasadnya. Bukan karena sudah tak cinta atau melupakan kasih sayang dan komitmen yang pernah terucap. Terucap? Yah! Baru terucap, belum dibangun. Aku ingat sekarang, komitmen itu baru saja terucap, sama sekali belum kami pikirkan dengan apa dan bagaimana harus dibangun. Impian tentang rumah di kotak kaca pun hilang seketika, terbakar dan tinggal jelaga.
Aku kembali ke tempat ku sendiri, di rumah tempat aku berdiri semula. Mulai memungut semua robekan kertas dari jurnal pembukuan dosa-dosaku. Lelah aku sendiri, aku minta bantuan pada malaikat yang biasa bertengger di pundak. Namun, ia menolak untuk membantuku, karena ia sibuk menghitung dosa-dosa baru yang aku lakukan hari ini. Sebegitu banyakkah? Hingga malaikatku tidak bersedia membantuku. Kemudian, aku ambil kaca, dan sekali lagi, benar saja. Ini wajah sangat penuh luka, aku tidak yakin kamu dapat kenali aku lagi. Wajar jika kamu jahat padaku sekarang.
Sakit punggung ini membungkuk, sepertinya malaikat sudah banyak sekali mengumpulkan dosa-dosaku. Berat! Aku berbaring, kudengar malaikat terjatuh dan menjerit  kesakitan tertimpa dosa-dosaku. “Maafkan aku malaikat… karena aku, kau jadi tertimpa sial…”. Tapi tolong sekali ini bantu aku punguti lagi dosa-dosa itu kembali, masukan seluruhnya dalam jurnalmu itu. Aku ingin berbaring sejenak melepas rindu pada rumah dalam kotak kaca. Memimpikannya saja semoga cukup bagiku. Sebelumnya terima kasih. Kau teman sejati, segala kebaikan dan keburukanku kau simpan rapi. Aku menyesal tidak dapat sepertimu. Tapi inilah aku, mengeluh karena selalu merasa tidak puas. Kenapa tidak puas? Karena aku manusia, manusia yang diciptakan dengan segala kekurangan. Segala kelebihan pun yang aku punya itu hanya sebatas hembusan satu nafas Allah, hanya hembusan, sekedar udara bukan zat padat.
Lelah sekali tubuh ini. Ooh Tuhan, izinkan aku sekali ini untuk kesal padamu. Berhenti bermain teka-teki yang Kaunamakan takdir, tapi tentunya aku tidak akan melupakanMu sebagaimana Kau selalu ingat aku. “Aku lelah Tuhan…”, izinkan saja aku masuk ke rumah dalam kotak kacaMu di surga sana, satu menit cukup. Tapi jika kau sedang berbaik hati, biarkan aku disana selama satu atau dua jam, atau biarkan aku selamanya saja di surga sana (tapi mungkinkah untukku yang berdosa). AAaaaahhhg……! Aku bosan diam, aku ingin berteriak lantang menembus semua lubang dan memukul gendang telinga semua orang. Haaaahh…. “Aku sungguh lelah Tuhan…”. Aku tahu Kau selalu bersama orang-orang yang sabar, aku sudah sabar menunggumu memberiku tempat. Tapi jika belum saatnya, izinkan aku tidur tenang malam ini. Tidur di rumah dalam kotak kaca. (Lupakan persoalan 1 jam lalu)
Selamat malam!

Senin, 05 Desember 2011

SMS KAN PESAN TUHAN UNTUK SAYA

Dulu memang kita saling bersama, kumengira tulus dalam kata. Tapi kini kamu memang berbeda, kuterluka untuk selamanya. Caramu yang membuat diriku jauh, kecewa di dalam hatiku. Ku tak mengerti cinta, indahnya hanya di awal kurasa. Mengapa kau benar dan aku salah… Kini memang kita saling berpisah, ku merasa sesal dalam kata. Tapi kini kamu memang bersalah, kau berubah untuk selamanya. Sifatmu yang membuatku jenuh, men*** dibalik mataku… Ku tak mengerti cinta indahnya hanya di awal kurasa. Mengapa kau benar dan aku selalu salah. Ku tak mengerti dia, cinta ini hanya bukan kau yang rasa. Ternyata dia bukanlah pujaan dalam hatiku
Ada yang benar, dan ada juga yang salah. Sama seperti lirik lagu ini, ada yang benar mewakili perasaan saya , ada juga yang salah, lebih tepatnya ini tidak tepat.
Bernyanyi saja sebenarnya tidak cukup menghibur diri, tapi paling tidak jari-jari ini tidak begitu kaku setelah sekian lama tidak memetik senar-senar itu. Suara yang fals, saya tak peduli, yang penting lepas! Ini bukan soal bagus tidaknya saya bernyanyi. Tapi saya hanya ingin mengekspresikan diri, di saat semua orang tidak peduli, di saat aku sendiri terkurung dalam kamar sepi ini yang begitu sunyi.
Sunyi hanya di ruangan ini, tapi ruang hatiku begitu riuh. Entah keributan apa yang terjadi di dalam, ingin mencari tahu dan mencoba masuk kemudian ikut bergabung dalam keriuhannya. Namun hati tidak menyediakan tempat untuk saya, tanpa alasan jelas. Kesal saya pada hati ini, kenapa begitu tega membiarkan saya di luar sendiri. Jika meminta izin baik-baik pun tidak juga diperbolehkan, apa harus saya dobrak hati saya sendiri? Ini hati siapa? Kenapa begitu asing dan mengasingkan saya? Apa sudah tidak adakah hak lagi untuk saya atas hati saya sendiri…?
Sesaat saya sunyi, baik dalam ruang maupun pikiran. Namun terusik oleh riuhnya hati. Suara-suara itu selalu mendorong saya untuk masuk ke dalamnya. Tapi apa yang harus saya lakukan agar dapat masuk ke hati saya? Apa ini juga orang lain rasakan dan alami ketika ia dihadapkan dengan berbagai pilihan. Sulit mengambil keputusan itu biasa tapi apa yang saya alami ini sangat tidak masuk akal. Sungguh saya ingin masuk, meskipun tak lama, paling tidak saya dapat mendengar suara Tuhan melalui hati. Saya ingin mendengar pesannya, jawabannya atas doa saya. Tolonglah!
Tidak adakah sedikit kerelaan buat saya untuk masuk? (lama sekali rasanya menunggu disini). Baiklah…, saya menyerah. Hati sungguh berkeras memenjarakan saya di luar belenggunya. Tapi satu yang ingin kukatakan, dan semoga hati berkenan menyampaikan serta mengabulkan apa yang saya inginkan. Jika hati sudah berubah pikiran, tolong..., ikhlaskan sedikit pulsamu to meng-SMSkan pesan Tuhan untuk saya, karena saya sudah tidak banyak waktu untuk berlama-lama disini. Terima kasih!

HEART OF STEEL


Disaat malam telah tiba Ia pun terlelap,terbawa mimpi indah bersama kenangan
saat pagi tiba Ia pun tersadar terbangun dari khayalan tanpa kasih sayang

Ia mencoba tuk melupakanmu tapi hati nya tak mampu tuk menahan.
Ia mencoba tuk lari dari kenyataan namun kenyataan tak sanggup Ia hadang,kini yang di rasa hanyalah kekecewaan
mencintaimu hanya tinggal impian ,sungguh tak tau sampai kapan Ia terus menantimu,tak mengerti sampai kapan dia harus bertahan

haruskah ia mencari cinta penganti?entah aku tak tau yang kini Dia rasakan
karena Ia terlanjur mencintaimu

mentari telah terbenam di upuk barat Ia merasa ada yang  hilang di dalam hatinya
Kau buat diri nya tak mengerti,dulu kau begitu menginginkannya
pernah Ia lihat senyumanmu,tatapanmu,kelembutanmu serta  sikapmu
setelah Dirinya terbiasa kau pun pergi entah kemana
mengapa kau beri Ia harapan
jika pada akhirnya kau hanya membuat dirinya terluka
apa kau tak pernah tau
bahwa Ia begitu mencintaimu
di saat yang sama,kau hancurkan perasaannya
kau pergi begitu saja,tanpa perduli pada hatinya


 

Sabtu, 03 Desember 2011

MEMPERBAIKI KONSEP DIRI

Pengertian & AlasanKalau melihat berbagai literatur Psikologi, Konsep-diri ini merupakan pembahasan penting. Konsep-diri adalah apa yang kita persepsikan terhadap diri kita; bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri. Semua orang pada dasarnya punya konsep-diri. Yang berbeda adalah “bagaimana-nya” persepsi itu kita ciptakan, pikirkan, dan rasakan. Kita lihat sehari-hari. Ada orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang memiliki kelebihan tertentu. Persepsi ini kemudian mendorongnya untuk meraih prestasi tertentu. Logikanya, kalau kita sudah punya dorongan, maka ini memudahkan kita meraih prestasi yang kita inginkan. Soal kualitasnya bagaimana, ini soal proses.
Ada juga orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang tidak punya kelebihan apa-apa. Secara by nature, persepsi demikian kurang memberikan dorongan. Konsekuensinya, kalau dorongan itu lemah, ya kemungkinannya juga kecil. Seperti kata Kidd (1998), “feeling of success spur action”. Intinya, ada Konsep-diri positif dan ada Konsep-diri negatif. Konsep-diri ini biasanya amat sangat jarang kita nyatakan melalui ucapan mulut (verbal). Bahkan banyak yang tidak kita sadari. Umumnya, konsep-diri itu kita “batin” dan langsung kita praktekkan. Karena itu ada yang mengatakan nasib orang itu tercetak tanpa pengumuman (diam-diam). Sejauhmanakah konsep-diri ini punya pengaruh bagi kemajuan seseorang? Ada beberapa hal yang bisa kita catat di sini:
Pertama, konsep-diri berhubungan dengan kualitas hubungan intrapersonal (diri sendiri). Konsep-diri positif akan memproduksi kualitas hubungan yang positif. Ini misalnya harmonis dengan diri sendiri, mengetahui kelebihan dan kelemahan secara lebih akurat, atau punya penilaian positif terhadap diri sendiri. Hubungan yang harmonis akan menciptakan kebahagiaan-diri (perasaan positif terhadap diri sendiri).
Menurut Michael Angier, perasaan positif mendorong kita untuk melakukan hal-hal positif. Jim Rohn menyimpulkan bahwa seringkali kita tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik karena kita menyimpan perasaan yang tidak baik. Kalau kita sedang merasa “nggak karu-karuan”, biasanya pekerjaan kita berantakan juga.Karena itu, Einstein menyimpulkan bahwa karya besar itu tidak lahir dari seorang yang jiwanya sedang kacau.
Kedua, konsep diri terkait dengan kualitas hubungan dengan orang lain. Orang yang hubunganya harmonis dengan dirinya akan menghasilkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Inilah yang menjadi pokok bahasan Kecerdasan Emosional (EQ). Sebaliknya, orang yang di dalam dirinya ada perang, akan mudah memproduksi peperangan juga di luar.
Karena itu, berbagai study di bidang kesehatan mental mengungkap bahwa orang yang sedang mengalami stres atau depresi kurang bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Biasanya, hubungan mereka diwarnai dengan semangat permusuhan, perdebatan, konflik atau minimalnya gampang patah. Selain terkait dengan soal kualitas keharmonisan, Konsep-diri juga terkait dengan soal setting mental atau isi pikiran saat berhubungan dengan orang lain. Dale Carnegie menyebutnya dengan istilah filsafat hidup. Ada orang yang punya filsafat hidup memberi, ingin berbagi, ingin bekerjasama, ingin meminta (diberi), ingin mengambil, dan lain-lain.
Konsep diri yang lemah akan mendorong kita untuk meminta (asking or begging). Ini misalnya saja: apa yang bisa diberikan kepada saya, apa yang bisa saya “manfaatkan”, apa yang bisa saya ambil, dan lain-lain. Sebaliknya, konsep-diri yang kuat akan mendorong kita untuk berpikir, misalnya saja: Apa yang bisa saya berikan, apa yang bisa saya kerjasamakan, apa yang bisa saya sinergikan, apa yang bisa saya serviskan, apa yang bisa saya bantu, dan lain-lain.
Kalau bicara keharmonisan hubungan jangka panjang, konsep mental yang paling menjanjikan adalah konsep mental yang kuat: saling memberi, saling berbagi, saling bersinergi, dan semisalnya. Intinya ada unsur win-win-nya. Soal bentuknya kayak apa, ini urusan lain.
Ketiga, konsep diri terkait dengan kualitas seseorang dalam menghadapi perubahan keadaan. Perubahan itu bisa dipahami sebagai tekanan (pressure) atau tantangan (challenge). Ini tergantung pada bagaimana kita punya persepsi diri. Tantangan adalah “panggilan” atau kesempatan untuk membuktikan kemampuan, kebolehan, atau kehebatan kita.
Konsep-diri yang bagus akan memproduksi kepercayaan yang bagus (pede). Orang yang pede akan cenderung melihat perubahan sebagai tantangan untuk dihadapi, tantangan untuk diselesaikan, tantangan untuk dilompati. Karena itu, seperti kata Mohammad Ali, petinju legendaris itu, yang membuat orang lari dari masalah itu adalah kepercayaan-diri yang rendah.
Sumber Konsep-diriKarena kita ini punya sebutan ganda (makhluk individual dan sosial), maka konsep diri yang kita miliki pun bersumber dari dua arah, yaitu:
Sumber eksternal
Sumber internal.
Sumber eksternal itu misalnya adalah keluarga, lingkungan, komunitas, atau sumber-sumber lainnya. Tak jarang kita temui ada satu keluarga yang seluruh SDM-nya bagus. Tapi tak jarang juga kita jumpai ada satu keluarga yang SDM-nya tidak / belum bagus. Ini terkait dengan pemahaman, nilai-nilai, budaya, dan berbagai “intangible element” yang melandasi terbentuknya konsep-diri tertentu di dalam keluarga.
Begitu juga dengan lembaga sekolah. Ada sekolah-sekolah tertentu yang sepertinya sudah “berpengalaman” mencetak alumni yang sebagian besarnya bagus. Tapi ada yang sama sekali tidak / belum jelas alumninya. Apa yang membedakan? Salah satu yang membedakan adalah konsep-diri kolektif yang berkembang di sekolah itu. Tentu juga terkait dengan faktor-faktor “eks” lainnya.
Sumber internal maksudnya adalah kita sendiri yang menciptakan. Terlepas apakah itu kita ciptakan secara sadar atau tidak. Ketika kita berkesimpulan tidak punya kelebihan apa-apa, tidak punya resource apa-apa, tidak punya bakat apa-apa, tidak punya arti apa-apa, sebetulnya itu bukan berarti kita tidak punya. Itu semua adalah penilaian kita, persepsi kita, atau opini kita tentang diri kita. Pendeknya, itulah konsep-diri yang kita pilih.
Perlu secara fair kita akui juga, ketika kita punya konsep-diri seperti di atas, ini memang tidak membuat kita mati. Tapi untuk kepentingan kemajuan, perkembangan, aktualisasi-diri, dan lain-lain, konsep-diri itu punya peranan yang signifikan. Dr. Maxwell Maltz menyimpulkan tindakan manusia itu erat kaitannya dengan bagaimana manusia itu mendefinisikan dirinya. Senada dengan itu, Gordan Dryden dan Dr. Jeannette Vos menulis, “Dari sistem pendidikan yang terbukti berhasil di seluruh dunia, citra diri ternyata lebih penting dari materi pelajaran.”
Ada satu hal lagi yang mungkin perlu kita ingat di sini. Dari praktek hidup bisa kita ketahui bahwa konsep-diri itu ada yang sifatnya permanen (substansial). Artinya sudah masuk dalam file Alam Bawah Sadar, sudah menjadi gaya hidup, sudah benar-benar melekat dengan diri kita. Ini misalnya: kita secara otomatik punya konsep-diri yang lemah atau negatif dan itu berlangsung dalam periode yang cukup lama.
Tetapi ada juga yang sifatnya kondisional atau superfisial berdasarkan keadaan spesifik atau kepentingan spesifik. Ini misalnya kita mendesain format mental semenarik mungkin saat mau bertemu calon mertua, saat diwawancarai kerja, dan lain-lain. Seorang pejabat publik bisa saja mendesain format mental dan penampilan se-menarik mungkin, se-positif mungkin atau se-elegan mungkin saat berbicara di depan publik atau saat kampanye. Untuk kepentingan perkembangan jangka panjang, yang benar-benar perlu kita audit adalah konsep-diri permanent yang sudah masuk ke file Alam Bawah Sadar. Ini perlu “kerja keras” untuk memperbaikinya. Kenapa dan bagaimana?
Membangun Konsep DiriSebelum menjawab “bagaimananya”, saya ingin lebih dulu menandaskan “kenapanya” dulu. Ini terkait dengan sumber eksternal dan internal di atas. Maksudnya saya, meski sumber konsep-diri itu bisa berasal dari luar dan dari dalam, tapi untuk memperbaikinya, ini harus berawal dari kita atau dari dalam. Seluruh perbaikan diri itu berawal dari dalam. Kaidah ini berlaku untuk semua orang dewasa (baca: bukan anak-anak).
Anak-anak yang punya konsep-diri negatif masih bisa dibenarkan jika orangtua atau lingkungan yang “pantas” disalahkan. Tapi untuk orang dewasa, ini tidak berlaku. Meski kita bisa menyalahkan lingkungan, keluarga, sekolah, dan lain-lain, tetapi ujung-ujungnya yang menerima akibat adalah tetap diri kita. Ini bukti bahwa tanggung jawab untuk memperbaiki diri itu tidak bisa didelegasikan, dipasrahkan atau dilemparkan kepada pihak manapun.
Karena itu, tradisi kita memperkenalkan konsep kehidupan yang kita sebut aqil baligh. Aqil artinya akal kita sehat, tidak rusak karena usia atau kecelakaan. Baligh artinya usia kita bukan lagi anak-anak. Konsep ini digunakan untuk menandai perpindahan tanggung jawab. Seluruh aspek positif atau negatif yang dimiliki anak-anak, itu sebagian besarnya menjadi tanggung jawab orangtua, keluarga atau lingkungan. Begitu sudah menginjak aqil baligh ini, tanggung jawab itu secara otomatik pindah dari luar ke dalam.
Dengan kata lain, terlepas kita lahir dari keluarga, lingkungan atau sekolah yang bagus atau tidak, tetapi jika menolak memperbaiki konsep-diri negatif yang kita miliki, maka yang salah bukan keluarga, lingkungan atau sekolah. Yang salah adalah kita. Maksudnya, akibat atau konsekuensinya tetap kembali ke kita, bukan kembali ke keluarga, lingkungan atau sekolah. Inilah yang saya maksudkan kerja keras itu.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki konsep-diri yang sudah terlanjur negatif atau kurang mendukung kemajuan? Salah satu pilihan yang bisa kita jalankan adalah:
Pertama, menambah Pengetahuan (P1). Bertambahnya jenis dan bobot ilmu pengetahuan, bukan saja akan membuat kita memiliki pengetahuan itu, tetapi juga akan membuat kita memiliki opini-diri yang lebih baru dan lebih bagus. Soal caranya dan tehniknya bagaimana, itu urusan kita masing-masing. Kita bisa menambah pengetahuan dengan berbagai cara: melanjutkan sekolah, melakukan self-learning, self-education, dan lain-lain.
Satu cara yang pasti dapat dilakukan oleh semua orang, terlepas apapun status ekonomi dan sosialnya, adalah membaca. Entah itu membaca buku baru atau buku bekas, entah itu membaca majalah baru atau majalah bekas, entah itu dalam bentuk artikel pendek atau hasil kajian yang panjang. Tapi membaca di sini bukan sekedar membaca. Semua kegiatan membaca itu bagus, namun yang paling bagus adalah memilih materi yang tepat untuk dibaca. Membaca riwayat hidup atau pemikiran tokoh bisa memperbaiki konsep-diri.
Kedua, menambah Pengalaman (P2). Pengalaman bukanlah serangkaian peristiwa yang menimpa kita, melainkan apa yang kita lakukan atas peristiwa itu. Menambah pengalaman akan membuat kita tahu apa yang bisa kita lakukan sekarang dan apa yang belum bisa kita lakukan. Cara yang bisa kita tempuh antara lain:
Mempraktekkan ide-ide perbaikan sampai berhasil
Mengatasi masalah dengan cara yang positif
Meraih target positif,
Mewujudkan standar prestasi yang kita buat,
Berkreasi
Dan lain-lain.
Pengalaman akan memperbaiki konsep-diri. Semakin banyak kemampuan yang kita ketahui, semakin bagus kita punya penilaian terhadap diri sendiri. Nah, untuk mengungkap berbagai kemampuan / kapasitas itu, tentu tidak bisa dilakukan dengan duduk. Terkadang kita baru mengetahui kemampuan kita setelah mempraktekkan banyak hal. Praktek akan menunjukkan dua hal: a) ternyata saya mampu melakukan hal-hal yang dulunya saya anggap tidak mungkin, dan b) ternyata saya belum mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya saya anggap mudah. Jadi lebih akurat.
Ketiga, menambah Pergaulan (P3). Pergaulan, dalam arti yang luas, akan memperbaiki konsep-diri. Tapi ini dengan syarat: asalkan kita membuka diri untuk mengambil pelajaran dari orang yang kita kenal. Orang lain memang tidak bisa menyulap kita menjadi siapapun dan apapun. Namun jangan lupa, orang lain mengilhami kita, orang lain meng-inspirasi kita, orang lain adalah contoh bagi kita, orang lain adalah pembimbing kita, orang lain adalah pelajaran buat kita.
Intinya, perbanyaklah mengenal orang (langsung atau tidak langsung) dan perbanyaklah mengambil pelajaran. Biasanya, kita akan tahu kejelekan / kebaikan diri sendiri setelah melihat jeleknya orang lain atau kebaikannya. Biasanya, kita akan segera sadar konsep-diri yang kita pilih setelah berinteraksi dengan orang lain. Karena itu, ada ungkapan pendek yang mungkin pas untuk diingat. “Cara yang paling bagus untuk menjadi bintang olahraga adalah belajar dari bintang olahraga.”
Konsep-diri, entah itu positif atau negatif, memang tidak bisa menyulap prestasi kita menjadi bagus. Tetapi, untuk meraih prestasi yang lebih bagus, dibutuhkan konsep-diri yang semakin bagus. Semoga bermanfaat !!

#sumber: e-psikologi (Oleh : Ubaydillah, AN)

JURNALISTIK

KITA tahu bahwa bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.Itulah sebabnya, para penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas kosa kata, pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik. Jika tidak, mereka tidak berbeda dengan prajurit yang tak berdaya di medan perang. Bahasa jurnalistik harus memenuhi sejumlah persyaratan.Bahasa jurnalistik disyaratkan tampil menarik, variatif, segar,berkarakter.Selain itu, ia juga harus senantiasa tampil ringkas dan lugas, logis, dinamis, demokratis, dan populis.Dalam bahasa jurnalistik,setiap kata harus bermakna,bahkan harus bertenaga dan bercita rasa.Kata bertenaga dengan cepat dapat membangkitkan daya motivasi,persuasi,fantasi,dan daya imajinasi pada benak khalayak. Pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok. Pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan.Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Ketepatan memilih kata dapat dicapai apabila kita sebagai penulis atau jurnalis menguasai dengan baik masalah etimologi, semantik, tata bahasa, ejaan, frasa, klausa, istilah, ungkapan, idiom, jargon, singkatan, akronim, peribahasa, kamus,dan ensiklopedia.Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam menggunakan kata tadi. Hal ini lebih banyak dipengaruhi faktor teknis tata bahasa, faktor psikologis narasumber dan jurnalis, konteks situasi dan maksud pesan yang disampaikan, serta aspek-aspek etis, etnis, dan sosiologis khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa.Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, memang merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra).Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa. Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan.Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan, bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian.Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama (ada yang menyebut laporan utama,forum utama), akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat memengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan).Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana. Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang,waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.Menyimpang dari Kaidah BakuMuncul keluhan bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah baku. Banyak ditemukan kemubaziran bahasa wartawan pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan).Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi.Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa,karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum baik.Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi,dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar. Memang terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku.Penyimpangan morfologis, misalnya, di mana sering terjadi pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks.Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Ada juga kesalahan sintaksis, yaitu berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian.Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus.Kesalahan kosakata pun sering terjadi.Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Sedangkan kesalahan ejaan hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Yang cukup mengganggu adalah kesalahan pemenggalan.Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja.Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia. Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata,dan ejaan.Selain itu,pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya.Paragraf menjadi rusak karena penyisipanpenyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Mengacu pada JS Badudu, bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Demikianlah, bahasa adalah senjata seorang jurnalis, dan kata-kata adalah pelurunya. Seorang jurnalis tidak boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang dan bahkan binatang yang tidak berdosa. Ia hanya boleh menggunakan senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa.